Ternyata Tidur Bisa Cegah Alzheimer
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tidur bukan hanya ritual memejamkan mata demi melepas lelah atau mengikuti rutinitas. Faktanya, tidur bermanfaat mencegah penyakit seperti Alzheimer.
Penelitian dari Boston University menggambarkan bahwa otak terlibat dalam “pembersihan” selagi kita tertidur. Proses ini ternyata bermanfaat dalam mencegah penyakit seperti demensia. Penelitian ini menyempurnakan penelitian sebelumnya, di mana ditegaskan bahwa otak bekerja lebih baik saat tubuh beristirahat. (Baca: Opini Publik Dinilai Ganggu Penyidikan Kasus Jaksa Pinangki)
Proses ini melibatkan sistem glymphatic, yaitu sistem pembersihan untuk sistem saraf pusat kita. Ketika terbangun, protein yang disebut amyloid-betas menumpuk di otak. Tetapi selama jam tidur, otak meluluhkan protein ini guna mencegah terbentuknya plak dan akirnya merusak saraf. Tanpa tidur yang cukup, otak tidak akan efektif membersihkan protein ini.
Nah, penumpukan protein ini berhubungan dengan tingginya risiko terkena demensia yang dapat merusak saraf. Terkait hal ini, Dr Alon Y Avidan MPH menjelaskan, selagi kita tidur, sistem glymphatic bekerja membersihkan protein, racun, maupun produk “sampah” lainnya.
“Kurang tidur membuat sistem ini kurang efektif bekerja. Protein ini diketahui sebagai racun terhadap sel dan saraf. Penumpukan protein ini bisa menyebabkan peradangan dan penurunan fungsi saraf di otak yang seiring waktu berkontribusi pada risiko Alzheimer,” papar Direktur UCLA Sleep Disorder Center sekaligus profesor di Departemen Neurology di David Geffen School of Medicine, UCLA.
Meski begitu, bukan berarti jika hanya tidur empat jam dalam sehari kemudian dalam 20 tahun ke depan Anda akan menderita Alzheimer. “Belum ada buktinya, tapi yang jelas ada tren seperti itu,” imbuhnya dikutip dari Healthline. Asosiasi Alzheimer sendiri menyetujui bahwa terlalu dini untuk membenarkan hubungan sebab-akibat tersebut. “Bukti yang ada menyatakan bahwa gangguan tidur seperti sleep apnea atau gangguan pola tidur dapat meningkatkan risiko Alzheimer dan demensia kelak atau bisa menjadi tanda awal penyakit ini,” kata Heather Synder PhD, Wakil Presiden Medical and Scientific Operations Asosiasi Alzheimer. (Baca juga: Turki Peringatkan Perang dengan Yunani hanya Tinggal Masalah Waktu)
Namun, Synder menggarisbawahi, masih dibutuhkan banyak penelitian untuk memahami hubungan antara tidur dan demensia. “Contohnya, apakah perubahan otak disebabkan penyakit akibat adanya gangguan tidur atau justru perubahan pola tidur yang meningkatkan risiko demensia atau keduanya?" kata Synder.
Avidan menjelaskan, tidur yang cukup meliputi kuantitas maupun kualitas. Banyak orang berpikir bahwa semakin bertambah usia, hanya butuh tidur sebentar. “Ini tidak benar, baik Anda 18 ataupun 80 tahun. Untuk usia 18 tahun, kuantitas tidur harus antara 7-8 jam. Ini sesuai rekomendasi yang dianjurkan,” beber Avidan.
Dia juga meluruskan bahwa waktu tidur idealnya tidak dipecah antara waktu tidur malam dan tidur siang, tetapi harus dalam satu waktu. Sedangkan merujuk pada kualitas, tidur yang cukup bisa dilihat dari tahapan tidur. Misalkan, jika seseorang tidur antara 7-8 jam dan mereka terbangun dalam kondisi pening, bisa jadi ada isu kesehatan yang diderita.
“Mungkin ada isu kesehatan yang mengganggu tidur, seperti nyeri, sleep apnea, atau penggunaan alkohol yang bisa mengganggu kelancaran tidur,” ujar Avidan. Bukan hanya Alzheimer yang harus diwaspadai. Faktanya, tidur yang tidak nyenyak dapat memicu berbagai gangguan. Max Kerr DDS,D-ABDSM, pakar pengobatan tidur Sleep Better Austin di Texas, AS, mengatakan, secara fisik, tidur yang tidak berkualitas bisa berakibat kesulitan mengatur berat badan, diabetes, dan disfungsi tiroid yang disebabkan gangguan hormoni. (Lihat videonya: Kemarau Panjang, Warga Kabupaten Bekasi Mengalami Kekeringan)
Sedangkan secara mental, tidur yang tidak berkualitas bisa meningkatkan risiko gelisah, depresi, sulit mengingat, dan penyakit degeneratif seperti Alzheimer dan demensia. Penyakit ini dapat muncul terutama kalau ada gangguan tidur dan/atau tidak cukup tidur. Kerr membeberkan bahwa sistem saraf dan memori terjaga selama tidur REM (tidur dengan gerak mata cepat). Rapid eye movement (REM) adalah kondisi normal dari tidur yang ditandai dengan gerakan cepat dan acak dari mata. Masalahnya, acapkali tahapan tidur REM ini terlewat karena adanya gangguan tidur. (Sri Noviarni)
Lihat Juga: Malaysia Usung Teknologi Medis Terbaru dalam Konferensi Kesehatan Internasional MIH Megatrends 2024
Penelitian dari Boston University menggambarkan bahwa otak terlibat dalam “pembersihan” selagi kita tertidur. Proses ini ternyata bermanfaat dalam mencegah penyakit seperti demensia. Penelitian ini menyempurnakan penelitian sebelumnya, di mana ditegaskan bahwa otak bekerja lebih baik saat tubuh beristirahat. (Baca: Opini Publik Dinilai Ganggu Penyidikan Kasus Jaksa Pinangki)
Proses ini melibatkan sistem glymphatic, yaitu sistem pembersihan untuk sistem saraf pusat kita. Ketika terbangun, protein yang disebut amyloid-betas menumpuk di otak. Tetapi selama jam tidur, otak meluluhkan protein ini guna mencegah terbentuknya plak dan akirnya merusak saraf. Tanpa tidur yang cukup, otak tidak akan efektif membersihkan protein ini.
Nah, penumpukan protein ini berhubungan dengan tingginya risiko terkena demensia yang dapat merusak saraf. Terkait hal ini, Dr Alon Y Avidan MPH menjelaskan, selagi kita tidur, sistem glymphatic bekerja membersihkan protein, racun, maupun produk “sampah” lainnya.
“Kurang tidur membuat sistem ini kurang efektif bekerja. Protein ini diketahui sebagai racun terhadap sel dan saraf. Penumpukan protein ini bisa menyebabkan peradangan dan penurunan fungsi saraf di otak yang seiring waktu berkontribusi pada risiko Alzheimer,” papar Direktur UCLA Sleep Disorder Center sekaligus profesor di Departemen Neurology di David Geffen School of Medicine, UCLA.
Meski begitu, bukan berarti jika hanya tidur empat jam dalam sehari kemudian dalam 20 tahun ke depan Anda akan menderita Alzheimer. “Belum ada buktinya, tapi yang jelas ada tren seperti itu,” imbuhnya dikutip dari Healthline. Asosiasi Alzheimer sendiri menyetujui bahwa terlalu dini untuk membenarkan hubungan sebab-akibat tersebut. “Bukti yang ada menyatakan bahwa gangguan tidur seperti sleep apnea atau gangguan pola tidur dapat meningkatkan risiko Alzheimer dan demensia kelak atau bisa menjadi tanda awal penyakit ini,” kata Heather Synder PhD, Wakil Presiden Medical and Scientific Operations Asosiasi Alzheimer. (Baca juga: Turki Peringatkan Perang dengan Yunani hanya Tinggal Masalah Waktu)
Namun, Synder menggarisbawahi, masih dibutuhkan banyak penelitian untuk memahami hubungan antara tidur dan demensia. “Contohnya, apakah perubahan otak disebabkan penyakit akibat adanya gangguan tidur atau justru perubahan pola tidur yang meningkatkan risiko demensia atau keduanya?" kata Synder.
Avidan menjelaskan, tidur yang cukup meliputi kuantitas maupun kualitas. Banyak orang berpikir bahwa semakin bertambah usia, hanya butuh tidur sebentar. “Ini tidak benar, baik Anda 18 ataupun 80 tahun. Untuk usia 18 tahun, kuantitas tidur harus antara 7-8 jam. Ini sesuai rekomendasi yang dianjurkan,” beber Avidan.
Dia juga meluruskan bahwa waktu tidur idealnya tidak dipecah antara waktu tidur malam dan tidur siang, tetapi harus dalam satu waktu. Sedangkan merujuk pada kualitas, tidur yang cukup bisa dilihat dari tahapan tidur. Misalkan, jika seseorang tidur antara 7-8 jam dan mereka terbangun dalam kondisi pening, bisa jadi ada isu kesehatan yang diderita.
“Mungkin ada isu kesehatan yang mengganggu tidur, seperti nyeri, sleep apnea, atau penggunaan alkohol yang bisa mengganggu kelancaran tidur,” ujar Avidan. Bukan hanya Alzheimer yang harus diwaspadai. Faktanya, tidur yang tidak nyenyak dapat memicu berbagai gangguan. Max Kerr DDS,D-ABDSM, pakar pengobatan tidur Sleep Better Austin di Texas, AS, mengatakan, secara fisik, tidur yang tidak berkualitas bisa berakibat kesulitan mengatur berat badan, diabetes, dan disfungsi tiroid yang disebabkan gangguan hormoni. (Lihat videonya: Kemarau Panjang, Warga Kabupaten Bekasi Mengalami Kekeringan)
Sedangkan secara mental, tidur yang tidak berkualitas bisa meningkatkan risiko gelisah, depresi, sulit mengingat, dan penyakit degeneratif seperti Alzheimer dan demensia. Penyakit ini dapat muncul terutama kalau ada gangguan tidur dan/atau tidak cukup tidur. Kerr membeberkan bahwa sistem saraf dan memori terjaga selama tidur REM (tidur dengan gerak mata cepat). Rapid eye movement (REM) adalah kondisi normal dari tidur yang ditandai dengan gerakan cepat dan acak dari mata. Masalahnya, acapkali tahapan tidur REM ini terlewat karena adanya gangguan tidur. (Sri Noviarni)
Lihat Juga: Malaysia Usung Teknologi Medis Terbaru dalam Konferensi Kesehatan Internasional MIH Megatrends 2024
(ysw)